Pages

Subscribe:

W E L C O M E

W  E  L  C  O  M  E

Labels

Dunia Kampus

Kamis, 09 Juni 2011

PERTUSIS

I. PENDAHULUAN
 Pertusis atau yang lebih dikenal orang awam sebagai “batuk rejan” atau “batuk 100 hari” merupakan salah satu penyakit menular saluran pernapasan yang sudah diketahui adanya sejak tahun 1500-an. Penyebab tersering dari pertusis adalah kuman gram (-) Bordetella pertussis.
 Di seluruh dunia insidensi pertussis banyak didapatkan pada bayi dan anak kurang dari 5 tahun.. meskipun anak yang lebih besar dan orang dewasa masih mungkin terinfeksi oleh B.pertussis. Insidensi terutama didapatkan pada bayi atau anak yang belum diimunisasi.
Dahulu pertusis adalah penyakit yang sangat epidemic karena menyerang bukan hanya negara-negara berkembang namun juga beberapa bagian dari negara maju, seperti Amerika Serikat, Italia, Jerman. Namun setelah mulai digalakkannya vaksinasi untuk pertusis, angka kematian bisa ditekan hingga 10/10.000 populasi. Seiring dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, pertusis diharapkan tidak diketemukan lagi, meskipun ada kasusnya namun tidak signifikan atau kurang.
Dengan mendiagnosa secara dini kasus pertusis, dari gejala klinis,foto roentgen, dan pemeriksaan penunjang lainnya, diharapkan para klinisi mampu memberikan penanganan yang tepat dan cepat sehingga derajat penyakit pertusis tidak menimbulkan komplikasi yang lebih lanjut, seperti ensefalopati, Respiratory distress syndrome, dan penyakit paru-sistemik lainnya.


II. BATASAN
Pertussis artinya batuk yang intensif, merupakan penyakit infeksi saluran pernafasan akut yang dapat menyerang setiap orang yang rentan seperti anak-anak yang tidak diimunisasi atau pada orang dewasa dengan kekebalan menurun. Istilah pertussis (batuk kuat) pertama kali diperkenalkan oleh Sydenham pada tahun 1670. dimana istilah ini lebih disukai dari “batuk rejan (whooping cough)”. Selain itu sebutan untuk pertussis di Cina adalah “batuk 100 hari”. 1,2,3
Pertussis adalah penyakit yang serius pada anak-anak kecil diseluruh dunia. Pada orang dewasa juga sering terjadi karier yang asimptomatik atau infeksi yang ringan.
Prevalensi pertussis di seluruh dunia sekarang berkurang karena adanya imunisasi aktif.
Etiologi
Penyebabnya adalah Bordetella pertusis. B. pertussis ini merupakan satu-satunya penyebab pertusis endemis dan penyebab biasa pertusis sporadis, terutama karena manusia merupaka satu-satunya host untuk spesies ini. Penyakit serupa- disebut juga a mild pertussis-like illness- juga dapat disebabkan oleh B. parapertussis (terutama di Denmark, Republik Ceko, Republik Rusia, dan Slovakia) dan B. bronchiseptica (jarang pada manusia karena merupakan patogen yang lazim pada binatang-kucing dan binatang pengerat-, kecuali pada manusia dengan gangguan imunitas dan terpapar secara tidak biasa pada binatang). Kadang-kadang sindroma klinik berupa batuk yang lama dan tidak sembuh-sembuh sehingga susah dibedakan, juga terdapat pada infeksi adenovirus (tipe 1,2,3, dan 5), Respiratory Syncitial Virus, parainfluenza virus atau influenza virus, enterovirus dan mycoplasma.
Patogen :
B. pertussis : kecil, tidak bergerak, cocobacillus gram (-). Terbaik dibiak pada “glycerin-potato-blood agar media (border-gengou)”. Organisme yang didapat umumnya tipe virulen (disebut fase I). Pasase dalam kultur dapat merangsang pembentukan varian yang avirulen (fase II, III, dan IV). Strain fase I berperan untuk penularan penyakit dan menghasilkan vaksin yang efektif.
Hanya B. pertussis yang mengeluarkan toksin pertusis (TP), protein virulen utama. B.pertussis juga menghasilkan beberapa bahan aktif, yang banyak darinya dimaksudkan untuk memainkan peran dalam penyakit dan imunitas. Aerosol, hemaglutinin filamentosa (HAF), beberapa aglutinogen (FIM2-FIM3), dan protein permukaannonfimbria 69-kD yang disebut pertaktin (PRN) penting untuk perlekatan terhadap sel epitel bersilia saluran pernapasan. Sitotoksin trakea, adenilat siklase, dan TP menghambat pembersihan organisme. Sitotoksin trakea, factor dermonekrotik dan adenilat siklase diterima secara dominant menyebabkan cedera epitel local yang menghasilkan gejala-gejala pernapasan dan mempermudah penyerapan TP. 2,3,4
TP mempunyai 2 sub unit, yaitu A dan B. TP (B) akan berikatan dengan reseptor pada sel taret dan mengaktivasi TP(A) pada membran sel yang merangsang pengeluaran enzim. TP akan merangsang pengeluaran Adenosin Diphosphate (ADP) sehingga akan mempengaruhi fungsi dari leukosit, limfosit, myocardial sehingga bermanifestasi peradangan saluran napas dengan hyperplasia kelenjar lymph peribronchial dan meningkatkan produksi mucus yang akan menutupi permukaan silia. Yang pada akhirnya bias mengarah ke komplikasi bronchopneumonia, infeksi sekunder bakteri lain (ex: Pneumococcus, Haemophilus influenzae, S.aureus, S.pyogenes), sianosis karena apnea dan ventilation perfusion mismatch. 2,3
Patologi :
- organisme bermultiplikasi pada epitel yang bersilia dan menghasilkan faktor-faktor virulen (termasuk toksin)
- Ada bendungan dan infiltrasi mukosa oleh sel-sel limfosit dan leukosit PMN, dan hasil hasil peradangan dalam lumen bronki. Pada awalnya terjadi hiperplasia limfoid peribronkial. Terjadi bronkopneumonia dengan nekrosis dan deskuamasi epitel permukaan bronki.
- Obstruksi bronkial dan atelektasis terjadi karena penumpukan sekresi mukus. Dapat pula timbul bronkiektasi.
- Perubahan patologis juga ditemukan pada otak dan hati. Dapat ditemukan perdarahan serebral dan atrofi kortikal yang kemungkinannya karena adanya anoksia. Pada hati dapat ditemukan infiltrasi lemak.

III. GEJALA KLINIS
Gejala  Klinis    Masa inkubasi Bordetella pertusis adlah 6-2 hari ( rata rata 7 hari). Sedang perjalanan            penyakit          terjadi  antara  6-8      minggu. Ada 3 stadium Bordetella pertusis
             Stadium          kataral (1-2      minggu) Menyerupai gejala ispa : rinore dengan lender cair, jernih, terdapat injeksi konjungtiva, lakrimasi, batuk ringan iritatif kering dan intermiten, panas        tidak    begitu  tinggi,   dan            droplet sangat infeksius
              Stadium paroksimal  atau     spasmodic       (2-4      minggu) Frekwensi derajat batuk bertambah 5-10 kali pengulangan batuk uat, selama expirsi diikuti usaha insprasi masif yang medadak sehingga menimbulkan bunyi melengking (whooop) oleh karena udara yang dihisap melalui glotis yang menyempit. Muka merah, sianosis, mata menonjol,lidah menjulur, lakrimasi, salivasi, petekia diwajah, muntah sesudah batuk paroksimal, apatis , penurunan berat badan, batuk mudah dibangkitkan oleh stress emosiaonal dan aktivitas fisik. Anak dapat terberak berak dan terkencing kencing. Kadang kadang pada penyakit yang berat tampak pula perdarahan subkonjungtiva  dan            epistaksis.
                Stadium       konvalesens    (1-2      minggu) Whoop mulai berangsur angsur menurun dan hilang 2-3 minggu kemudian tetapi pada beberapa pasien akan timbul batuk paroksimal kembali. Episode ininakan berulang ulang untuk beberapa bulan dan sering dihubungkan dengan           infeksi  saluran            napas  bagian atas            yang    berulang.

IV. MASA INKUBASI
masa inkubasi pertusis rata-rata 7 hari (6-20 hari).
Manifestasi klinik :
Penyakit dapat dibagi dalam 3 stadium :
*kataral
*paroksismal
*konvalenses
Penyakit umumnya berlangsung selama 6-8 minggu.
- Manifestasi klinik tergantung dari etiologi spesifik, umur dan status imunisasi. Penderita-penderita yang berumur <> 2 tahun. Jarang timbul panas diatas 38,4°C pada semua golongan umur.
- Penyakit disebabkan B. parapertussis dan B. bronkiseptika lebih ringan dan juga lama sakitnya lebih pendek.

- Stadium kataral : 1-2 minggu
Gejala-gejala infeksi saluran pernafasan bagian atas predominan à rinore, “conjuctival injection”, lakrimasi, batuk ringan, panas tidak begitu tinggi. Pada stadium ini biasanya diagnosis pertussis belum dapat ditetapkan.

- Stadium paroksismal :  2-4 minggu
Jumlah dan berat batuk bertambah. Khas, ada ulangan 5-10 batuk kuat selama ekspirasi yang diikuti oleh usaha inspirasi masif yang mendadak yang menimbulkan “whoop” ( udara dihisap secara kuat melalui glotis yang sempit).
Mukanya merah atau sianosis, mata menonjol, lidah menjulur, lakrimasi, salivasi dan distensi vena leher selama serangan.Episode batuk-batuk yang paroksimal dapat terjadi lagi sampai obstruksi “mucous plug” pada saluran nafas menghilang. Pada stadium paroksismal dapat terjadi petekia pada kepala dan leher atau perdarahan konjungtiva.
Emesis sesudah batuk dengan paroksimal adalah cukup khas sehingga anak dicurigai menderita pertussis walaupun tidak ada “whoop”.Anak tampak apatis dan berat badan menurun.
Serangan-serangan dapat dirangsang dengan menguap, bersin, makan, minum, aktivitas fisik atau malahan sugesti. Diantara serangan penderita tampak sakit minimal dan lebih enak.
“Whoop” dapat tidak ditemukan pada beberapa penderita terutama bayi-bayi muda.


- Stadium Konvalesens : 1-2 minggu
Episode paroksimal batuk dan muntah sedikit demi sedikit menurun dalam frekuensi dan beratnya.Batuk dapat menetap untuk beberapa bulan.Pemeriksaan fisik umumnya tidak informatif.
Pada stadium paroksismal dapat terjadi petekia pada kepala dan leher atau perdarahan konjungtiva.Pada beberapa penderita terjadi ronki difus.

V. SUMBER DAN CARA PENULARAN
 Sumber…
Pertusis merupakan penyakit menular dengan tingkat penularan yang tinggi ,dimana penularan ini terjadi pada kelompok masyarakat yang padat penduduknya dengan tingkat penularannya mencapai 100%. Pertusis dapat ditularkan melalui udara secara:
·         Droplet
·         Bahan droplet
·         Memegang benda yang terkontaminasi dengan secret nasofaring.
Sebagai sumber penularan yaitu pada karier orang dewasa.
Bordetella pertussis, basil pertusis; Bordetella parapertussis adalah penyebab parapertusis.
Cara Penularan..
Penularan terutama melalui kontak langsung dengan discharge selaput lendir saluran pernapasan dari orang yang terinfeksi lewat udara, kemungkinan juga penularan terjadi melalui percikan ludah. Seringkali penyakit dibawa pulang oleh anggota saudara yang lebih tua atau orang tua dari penderita.

Pertusis menular melalui droplet batuk dari pasien yg terkena penyakit ini dan kemudian terhirup oleh orang sehat yg tidak mempunyai kekebalan tubuh, antibiotik dapat diberikan untuk mengurangi terjadinya infeksi bakterial yg mengikuti dan mengurangi kemungkinan memberatnya penyakit ini (sampai pada stadium catarrhal) sesudah stadium catarrhal antibiotik tetap diberikan untuk mengurangi penyebaran penyakit ini, antibiotik juga diberikan pada orang yg kontak dengan penderita, diharapkan dengan pemberian seperti ini akan mengurangi terjadinya penularan pada orang sehat tersebut.
 VI. GAMBARAN EPIDEMIOLOGI
 ertusis adalah satu dari penyakit-penyakit yang paling menular, dapat menimbulkan “attack rate” 80-100% pada penduduk yang rentan. Di seluruh dunia ada 60 juta kasus pertusis setahun dengan lebih dari 500.000 meninggal. Selama masa pra-vaksin tahun 192-1948, pertusis adalah penyebab utama kematian dari penyakit menular pada anak di bawah usia 14 tahun di Amerika Serikat. Dilaporkan juga bahwa 50 persen adalah bayi kurang dari setahun, 75 persen adalah anak kurang dari 5 tahun. 1,2,3
Pertusis terutama mewabah di negara-negara berkembang dan maju, seperti Italian, daerah-daerah tertentu di Jerman dimana cakupan vaksin rendah atau Nova Scatia dimana digunakan vaksin yang kurang poten, dengan angka insidensi rata-rata mencapai 200-500/100.000 populasi dengan angka kematian 350.000 pada anak dibawah 5 tahun.2 Di Amerika Serikat sendiri dilaporkan insidensi tertinggi 4500 kasus sejak tahun 1967. namun setelah hal tersebut, pertusis jarang sekali kasusnya karena sudah lebih di galakkan vaksinasi .
Pertusis adalah endemik, dengan ditumpangin siklus endemik setiap 3-4 tahun sesudah akumulasi kelompok rentan yang cukup besar. Dilaporkan sebagian kasus terjadi dari bulan Juli sampai dengan Oktober.. Pertusis sangat menular dengan angka serangan 100% pada individu rentan yang terpajan pada aerosol dengan rentang yang rapat. Penyebaran terjadi melalui kontak langsung atau melalui droplet yang ditularkan selama batuk.
Dahulu dikatakan bahwa Perempuan terkena lebih sering daripada laki-laki dengan perbandingan 0.9:1 . Namun dengan laporan terbaru (Farizo, 1992) perbandingan insidensi antara perempuan dan laki-laki menjadi sama sampai umur dibawah 14 tahun. Sedangkan proporsi anak belasan tahun dan orang dewasa yang terinfeksi pertusis naik secara bersama samapai 27% pada tahun 1992-1993.
Tanpa reinfeksi alamiah dengan B.pertussis atau vaksinasi booster berulang, anak yang lebih tua dan orang dewasa lebih rentan terhadap penyakit ini jika terpajan. Sedangkan antibodi dari ibu secara transplasental pada anak tidaklah konsisten mencegah bayi yang baru lahir terhadap pertussis. Pertussis pada neonatus yang berat dapat ditemukan dengan gejala-gejala pertussis normal.

VII. UPAYA PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN

A. Upaya        pencegahan

1) Lakukan penyuluhan kepada masyarakat, khususnya kepada orang tua bayi, tentang bahaya pertusis dan manfaat memberikan imunisasi mulai usia 2 bulan dan mengikuti jadwal pemberian imunisasi yang dianjurkan. Penyebarluasan informasi ini penting untuk meningkatkan cakupan imunisasi apalagi reaksi samping yang muncul sangat jarang.

2) Imunisasi dasar untuk mencegah infeksi B. pertussis yang direkomendasikan adalah 3 dosis vaksin yang mengandung suspensi bakteri yang telah dimatikan, biasanya dikombinasi dengan diphtheria dan tetanus toxoid yang diserap dalam garam aluminium (vaksin absorbsi Diphtheria dan Tetanus Toxoid dan Pertusis, USP, DPT).

                 Preparat aseluler (DTaP) yang berisi dua atau lebih antigen protektif untuk B. pertussis dipakai di Amerika Serikat untuk serial imunisasi dasar (sebanyak 3 dosis) dan untuk booster. Preparat nonabsorbed (plain) tidak tersedia kecuali di Michigan, vaksin ini kurang bermanfaat untuk imunisasi dasar maupun untuk booster.

             

            Di Amerika Serikat DTaP direkomendasikan untuk diberikan pada usia 2, 4 dan 6 bulan sedangkan booster direkomendasikan untuk diberikan pada umur 15-18 bulan dan pada usia masuk sekolah. Vaksin yang berisi pertusis tidak dianjurkan untuk diberikan setelah umur 7 tahun. Negara-negara tertentu menerapkan pemberian imunisasi pada umur yang berbeda atau dengan dosis yang berbeda. Sebagian besar negara berkembang memberikan DTaP/DTP pada umur  6,         10        dan      14        minggu.

             Vaksin DTaP/DTP dapat diberikan secara simultan dengan vaksin oral polio (OPV), Inactivated Poliovirus Vaccine (IPV), Haemophilus influenzae type B (Hib), vaksin hepatitis B dan campak, vaksin Mumps dan rubella (MMR) pada tempat suntikan yang berbeda. Vaksin kombinasi berisi DTaP/DTP  dan      Hib saat ini      tersedia            di         AS.

               Di AS adanya riwayat keluarga dengan serangan kejang tidak merupakan kontraindikasi pemberian vaksin pertusis; pemberian antipiretika dapat mencegah terjadinya serangan kejang demam. Imunisasi dengan DTaP/DTP sebaiknya ditunda apabila anak menderita infeksi dengan demam yang naik turun. Namun penyakit ringan dengan atau tanpa demam      bukan  merupakan      kontraindikasi  pemberian       imunisasi.

                Pada bayi yang masih kecil dengan perkiraan adanya kelainan syaraf yang progresif, imunisasi sebaiknya ditunda sampai beberapa bulan kemudian untuk memberikan kesempatan memastikan diagnosa untuk mencegah kerancuan penyebab timbulnya gejala. Pada beberapa kasus dengan kelainan syaraf progresif, seorang anak sebaiknya diberikan DT saja daripada diberikan DTaP/DTP. Kelainan neurologist yang sudah stabil bukan merupakan kontraindikasi pemberian            vaksinasi.

                  Secara umum, vaksin pertusis tidak diberikan kepada anak berumur 7 tahun atau lebih, karena reaksi terhadap vaksin meningkat pada anak yang besar atau dewasa. Anak dengan riwayat pernah mengalami reaksi berat seperti kejang, menangis keras dan lama, pernah kolaps atau suhu tubuh lebih dari 40,5°C (atau lebih tinggi dari 105°F) sebaiknya tidak diberikan dosis selanjutnya vaksin yang berisi pertusis apabila risiko pemberian vaksin lebih  besar      daripada          manfaatnya.

                 Pada situasi dimana imunisasi pertusis harus diberikan (seperti pada saat terjadi KLB pertusis), sebaiknya digunakan DTaP. Reaksi anaphylactic atau encephalopathy akut dalam 48-72 jam setelah imunisasi merupakan kontraindikasi absolute pemberian imunisasi selanjutnya dengan vaksin yang mengandung pertusis. Reaksi sistemik yang kurang serius atau reaksi lokal jarang terjadi setelah imunisasi DTaP dan reaksi ini bukan kontraindikasi untuk pemberian dosis pertusis        selanjutnya.

                 Efikasi vaksin pada anak yang telah mendapatkan paling sedikit 3 dosis diperkirakan sebesar 80%; memberikan perlindungan terhadap timbulnya penyakit yang berat dan perlindungan mulai menurun setelah sekitar 3 tahun. Imunisasi aktif yang diberikan setelah pajanan tidak akan melindungi seseorang terhadap penyakit setelah pajanan namun tidak merupakan kontraindikasi. Proteksi yang paling baik didapat apabila mengikuti jadwal imunisasi yang dianjurkan. Imunisasi pasif tidak efektif, dan IG pertusis saat ini tidak ada lagi dipasaran. Vaksin pertusis tidak melindungi terhadap infeksi yang disebabkan oleh B. parapertussis.

3) Pada kejadian luar biasa, dipertimbangkan untuk memberikan perlindungan kepada petugas kesehatan yang terpajan dengan kasus pertusis yaitu dengan memberikan erythromycin selama 14 hari. Walaupun vaksin DTaP sejak 1999 tidak dianjurkan untuk diberikan kepada anak berumur 7 tahun atau lebih, nampaknya vaksin aseluler (DTaP) baru, mungkin dapat diberikan pada usia itu.

B. Upaya Pemberantasan..
                   Lakukan pencarian kasus yang tidak terdeteksi dan yang tidak dilaporkan untuk melindungi anak-anak usia prasekolah dari paparan dan agar dapat  diberikan perlindungan yang adekuat bagi anak-anak usia di bawah 7 tahun yang terpapar. Akselerasi pemberian imunisasi dengan dosis pertama diberikan pada umur 4-6 minggu, dan dosis kedua dan ketiga diberikan dengan interval 4 minggu, mungkin diperlukan; bagi anak-anak yang imunisasinya belum lengkap, sebaiknya dilengkapi.

- eritromisin : 50 mg/kg BB/hari selama 114 hari dapat mengeliminasi organisme pertussis dari nasofaring dalam 3-4 hari.
Eritromisin biasanya tidak memperbaiki gejala-gejala jika diberikan terlambat.
- Suportif : terutama menghindarkan faktor-faktor yang menimbulkan serangan batuk, mengatur hidrasi dan nutrisi
- Oksigen diberikan pada distres pernapasan akut/kronik.
- Penghisapan lendir terutama pada bayi dengan pneumonia dan distres pernapasan.
- Betametason dan salbutamol (albuterol) dapat mengurangi batuk paroksismal yang berat walaupun kegunaannya belum dibuktikan melalui penelitian kontrol.
- Penekan batuk (“suppressants”) tidak menolong.























PENUTUP
Pertusis merupakan salah satu penyakit menular yang menyerang saluran pernapasan bagian atas, disebabkan terutama oleh Bordetella pertussis. Pertusis ditandai dengan batuk lama dan kadang-kadang terdengar seperti menggonggong (whooping cough) dan episode diakhir dengan ekspulsi dari secret trakea,silia lepas dan epitel nekrotik.
Pertusis sering menyerang bayi dan anak-anak kurang dari 5 tahun, terutama yang belum diimunisasi lebih rentan, demikian juga dengan anak lebih dari 12 tahun dan orang dewasa.
Stadium penyakit pertusis meliputi 3 stadium yaitu kataral, paroxsismal, dan konvalesen. Masing2 berlangsung selama 2 minggu. Pada bayi, gejala menjadi lebih jelas justru pda stadium konvalesen. Sedangkan pada orang dewasa mencapai puncaknya pada stadium paroxsismal.
Diagnosa pertusis dengan gejala klinis memuncak pada stadium paroksismal, riwayat kontak dengan penderita pertusis, kultur apus nasofaring, ELISA, foto thorax.
Terapi yang dapat diberikan antibiotic eritromisin 50mg/kgB/hari dibagi 4 dosis selama 14 hari, dan suportif.
Prognosis baik dengan penatalaksanaan yang tepat dan cepat. Kematian biasanya terjadi karena ensefalopati dan pneumonia atau komplikasi penyakit paru yang lainnya.

0 komentar:

Posting Komentar